Sabtu, 27 Maret 2010

KATA, RASA, KAMU

Apa ini? ini bukan JUJUR, ini bukan yang mnamanya BENAR walau selamanya tak jua SALAH.
Ini kebimbangan yang tidak pernah kita bicarakan di depan. Ketika lebih baik diam daripada damai. Lebih baik sunyi daripada bising dimana keadilan bukannya harus ada di tempat yang paling tinggi.

Kamu BOHONG, kita berdua sama-sama tau. Kamu DUSTA, dimana aku yang menjadi HINA akan kata-kata tersebut.

Siapa kamu sampai segitu teganya kamu menyakiti aku? Siapa kamu sehingga kamu berusaha membuat aku harus menangis dan ternyata memang MENANGIS karena kamu?

JAWAB! SIAPA KAMU?

Kenapa ini Cinta?! Kenapa lagi-lagi 5 kata skakmat terakhir yang harus muncul.

Mungkin ini kata-kata yang terlahir dari rasa-rasa dan tercipta oleh KAMU. ke-SAKIT-an KU!

Minggu, 21 Maret 2010

Ucap Saja

Hari ini sama seperti hari kemarin, jenuh. Paling tidak aku masih punya kesempatan bertemu sahabatku yang ternyata menjadi tempat perahu kertasku berlabuh. Namun entah dimana perahu itu.

Di kakinya kah? Atau di belakang telinganya? Sehingga dia pun tidak mengerti dan menanggapi kehadiran itu.

Mungkin dia terlalu metropolis, kelewat modern daripada jaman ku yang memang sengaja kusimpan sendiri. Dia sedang terpaku pada sebuah mercu suar yang sangat tinggi. Berlampu merah dan bertiang putih. Hampir seperti aku. Sama-sama punya lampu dan sama-sama di lautan. Entah mengapa dia lebih memilih berenang dan menuju mercu suar dibandingkan bermain bersama perahu kertasku yang sudah hampir hanyut dibawa oleh indahnya waktu dan dimensi bersama dia.

Mataku tetap terpaku terhadap jam dinding itu, berusaha ingin menjauhkan pandangan dari jendela bening disisi kiri. Seorang kakak kelas tingkat tiga yang pernah menelfonku, memelukku, bahkan menasehatiku, sekarang sudah tak bisa ku sentuh, tak bisa ku cubit, atau sekedar bercanda di tengah kalaunya hati.

Aku ingin dia, entah dia atau kesunyian. Aku hanya bosan sendiri. Diam, dan aku butuh memeluk seseorang. Sebagai pegangan atau entah apa saja.
Kembali kepada lelaki dan mercu suar di depannya. Dia, dia yang selama ini tau apa yang ku rasakan. Bukan tentang dia, tetapi tentang lelaki-lelaki lain yang ada di hidupku. Rasanya galau, kacau, dan berantakan.

Aku tau aku bukan jam yang pas di tangannya, aku terlampau kecil, sempit, dan mati. Aku bukan apa yang kau butuh.

Ketika aku yang menyukai filosifi-filosofi dan beberapa praktikum sastra yang secara lugas dapat ku tulis serta terfikir. Aku tak banyak protes tentang apa yang aku rasakan. Aku hanya ingin selalu punya kertas gambar baru. Paling tidak setelah aku mengacau dengan lembaran yang lama. Entah aku kacaukan dengan apa. Walau aku tau kau mengenalku di sekitar lembaran ke 5 sampai sekarang. Aku tak akan cukup pantas untuk jadi pendamping. Aku hanya cocok jadi pelengkap dan bumbu penyedap, paling tidak kau tersenyum, cukup, itu saja.

Paling tidak ketika hari hujan, aku bukan yang akan memayungi mu, tapi aku punya payung yang dapat kau pinjam, dan aku rela membasahkan tas beludruku demi payung yang aku pinjamkan. Aku tau kau pun tak memakai payung itu, aku kenal kebiasaan mu. Aku tau siapa yang sebenarnya kau payungi. Mercu suar itu. Entah mengapa kau rela, dan entah mengapa aku pasrah.

Aku yang mengaku sahabatmu, selalu mencoba membuatmu bahagia, tanpa berpikir ini benar, salah dan baik buruknya. Mungkin ini yang namanya romantika. Sesuatu yang aku bicarakan selalu kepadamu sebagai teman yang dapat mengetahui aroma rambutmu. Yang kenal betul dirimu yang tampak sangat sedih kehilangan dia, tanpa kamu tau aku sedih kehilangan kamu.
Aku yang mungkin sekarang berlayar mundur darimu, takut investasi hal romantika itu pergi dariku. Takut pribadi bingungmu tiba-tiba tau dan ahli dalam hal itu. Aku takut tak bicara dengan kamu, dan aku takut kalau aku sampai nekat berteriak.

Sabtu, 13 Maret 2010

Abu-abu

Mungkin harusnya ini tak berjudul, karena ini perasaan bukan tulisan. Karena ini rasa, bukan bentuk dari karya sastra.

Jalan dari Marylebode Road sampai Hyde Park membuat London menjadi sunyi bersama dia.

Apa ini? Cinta? Kenapa harus sahabatku?

Jumat, 12 Maret 2010

Senja Bertopeng Surya

Aku lihat warna itu, Ungu, Orange, sendu.
apa itu hanya hatiku yang sebenarnya menjadi pelapis dari horizon bumi yang tak bisa ku robek? Ini bagai gelas tak pecah. Gitar bersenar besi. Aku hancur. Hancur sehancur-hancurnya.

Mungkin ini bukan ungu, atau orange, aku lihat coklat. Coklat Latte yang membuat sendu berseru jadi tangis. Jadi teriak yang tak terpendam. Ini nyata, dan realita.

Mungkin ini Spektrum. Sebuah gabungan yang aku sendiri tak tau ada apa. Aku yang mungkin tak bisa jelaskan apa-apa tapi mengerti sejuta yang disebut apa-apa.

Aku ternyata lebih suka kopi Latte. Bukan kopi hitam klasik. Aku lebih nyaman dengan dia, bukan kamu ternyata.

Latte yang membuat aku tertawa lepas dan berwarna coklat muda. Dimana aku masih bisa melihat ampas-ampas kopi itu. Aku masih bisa lihat diriku, dan aku tidak kehilangan itu. Itu lah Latte ku, yang terealisasi dalam seorang pria, sahabatku. Yang ternyata selama ini ada, nyata, dan realita. Dia yang seharusnya aku cinta terlebih dahulu. Namun aku terlalu buta, sial aku terlambat.

Dia yang membuat Ungu jadi Jingga, dan Orange jadi Spektrum, sesuatu yang buat aku bisa berfikir luas. Tertawa, menangis, belajar, dan sayang satu sama lain.

Tapi kopi hitam klasik, ternyata terlalu gelap. Aku sendiri sampai tidak bisa lihat diriku. Aku buta dengan kamu. Ternyata kopi ini membuat semuanya hitam-putih. Duniaku hampa, dan aku bukan dirimu. Aku bersama kamu, bukan aku.

Ini mungkin Senja, namun seperti Pagi disisi Latte. Kamu yang membuat senjaku, bertopeng surya.

Selasa, 09 Maret 2010

Kita Tau

Aku rasa, ya, aku tau sekarang.

Ini ternyata yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan.

Aku sekarang ingin berontak, teriak, jauh dari horizon dimana ada aku. Lewat dari atmosfir yang aku hirup. Aku hanya tak ingin kehilangan dia. Tak ingin bila nanti aku tak bisa bicara lagi, tertawa lagi, atau menangis bersama dia.

Kita bukan satu, kita dua, beda, tak sama.

Kita semua tau. Kita hanya butir-butir biji kopi yang tidak diletakkan dalam satu sachet. Mungkin dengan merek yang beda, atau dibuat dengan rasa yang tak sama.
Aku ingin sekali bersenandung lagi, setidaknya aku melihat kamu. Ada, dan sama.

Kita toh tak punya infestasi satu dengan yang lain. Hanya segelas kopi yang kita bagi bersama. Benar-benar dalam makna berdua dan tak ada yang lain. Tidak perempuan pujaan mu itu.

Aku jatuh hati, ya pada orang lain. Namun bukan jatuh cinta seperti aku pada kamu. Mungkin waktu bukan lagi roda statis, namun sudah menjadi baling-baling cepat pada kipas angin yang bisa diubah-ubah kecepatannya. Dan aku berjalan sangat cepat, cepat ingin lari dari kamu.

Karena aku kenal kamu, kenal yang lebih dari tau.

Aku hanya ingin berbisik, aku berharap kamu sekarang di sini.

Lebih dari sahabat, bilang saja ini sahabat baik dalam keadaan kamu bisa memeluk aku. Mungkin sesuatu yang lebih dari itu. Sebut ini apa saja, tapi aku bisa memeluk kamu satu kali. Sumpah ini pertama dan terakhir.

Semoga kamu bahagia. Karena kita tau kita tertawa untuk mengukur tingkat beda derita dan sama bahagia.

Sabtu, 06 Maret 2010

Hampir Pulang

Ya, aku memang hampir pulang. Hampir sampai pada pagar coklat dan lantai putih itu, kembali ke kamar mungil yang hangat dengan bantal bunga yang membuatku tidak ingin pergi lama-lama.

Mungkin aku sudah terlalu lama keluar rumah aku sudah jadi orang asing akan rumah ini. Aku hanya ingin sampai, ingin pulang.

Kembali jadi diri sendiri, dimana tawa tak ada batas, disaat tangis menjadi tertawaan dan sedih hanya milik orang lain. Bukan aku, ya, tidak sama sekali.

Sesaat aku berfikir bahwa aku hampir kehilangan duniaku. Dunia dimana aku bersandar, dimana aku tertawa dan dimana aku memeluk penuh harap. Lelaki. Lelaki yang tanpa sengaja menjanjikan ku perahu kertasnya yang rentan dan meminta aku meniupnya menyebrangi lautan. Miris, tapi nyata. Tak ada definisi dari kebahagiaan namun kelelahan.

Aku cinta kamu, begitu saja kamu tau. Tapi kamu bukan duniaku, dimana kamu sadar lebih dulu dan perlahan lari dari aku. Bilang saja harusnya, teriak! Aku sedang lari juga, mungkin sesekali berjalan karna tak rela. Tapi aku hampir pulang, aku dekat, dan kita jauh.

Aku harap, nanti, kita sama-sama pulang dan menelfon kembali, agar tau kita baik-baik saja.

Aku Rindu Kamu

Apakah dunia ini tentang usb? cd? atau semua alat-alat penyimpan praktis itu?

Ironis.

Ada apa dengan 2 mata ini? Ada apa yang salah dari neurit-neurit dan jaringan otak ini yang ternyata tak mampu diam dan berhenti berfikir kalau mungkjin saja keptusan ku salah dan aku bisa kembali lagi. Aku belum sampai ke titik derita 10 tahun, tapi aku berjalan menuju hal itu.

Aku merasa tertampar ketika ada seseorang yang mengigatkanku bahwa waktu tak dapat berjalan mundur. Aku tau, Aku sadar, Aku harus rela dan memaksa untuk itu. bagaimana jika tidak? Aku ini kan perempuan yang baru putus cinta.

Semua insan sepertinya sedang dibalut selimut asmara, atau apa? Ini bukan mengada-ada, tapi hati ini benar-benar bergejolak dan mengamuk bila tak ada dia. Mungkin hanya sepi, dan laptop ini yang menemaniku berpuisi sehingga aku lelah sendiri.

Mungkin ini bukan waktu, tapi ini aku, kamu, kita. Ini semua bukan cinta, bukan lagi sayang, tapi ini kebutuhan.

Aku merasa kehilangan lebih dari sekedar pacar, lebih dari sekedar lelaki, namun seorang sahabat. Sahabat yang paling tidak beberapa bulan menjadi lebih dari itu. Dan melakukan hal yang lebih dari seharusnya.

Aku perawan, ya, terus sampai nanti aku menikah tentunya. Ini hanya tak terlupakan, kisah ini, rasa ini, batin ini, aku masih bisa ingat kamu.

Entah berapa lama, dan entah berapa kuat.

Semuanya hanya diselimuti rasa penasaran akan diri sendiri yang tak bisa bicara dengan dirimu sebagai seorang sahabat, teman, tapi sebagai orang asing. Orang asing yang kehilangan dimensi alam hayalnya, yang selalu rasional, dan menjadi orang lain. Orang yang mungkin adalah engkau, tapi aku tak pernah tau.

Mengapa kau harus hilang? Mengapa sekarang kamu meminta aku minum kopi di beranda sendiri?

Kuping ini masih mendengar kata-kata romantis mu yang sempat membuatku tau kalau kamu pria yang terlalu polos, dan tawamu yang mengadu gigi rahang atas bawah bersamaan. Aku kenal kamu, kenal yang lebih dari sekedar tau. Lipatan tangan itu, kuku-kuku itu, aku pernah menggenggamnya. Dan aku rindu melakukan nya.

Kalau saja kamu tau aku, kalau saja kamu dengar, aku ini si peminum kopi, yang berusaha minum vodka, untuk mendapatkan cafein baru dalam hidupku, dan mencoba menghapus kamu, walau mustahil. Aku rindu kamu.

Ini Ada

Paling tidak, ini ada, nyata dan realistis, bukannya hayalan atau alam bawah sadar. Aku merasa aku butuh perhatian, sedikit saja. Atau mungkin lebih baik perawatan, biar aku dapat merasakannya lebih baik dari sekedar perhatian belaka.

Ini bukan melankolis atau iba terhadap diri sendiri. Ini rasional. Rasa dimana fikiran harus tersampaikan dengan majas-majas yang memanja lirik agar terdengar indah dan tak menyayat. Rasa, hati, majas. Itu sebenarnya konsep dari ini semua.

Ini semua adalah konsep yang berproses. Sesuatu yang diharapkan dan diberi kesempatan. Walau segala sesuatu layaknya tak dapat dipaksakan. Namun secara lugas, frontal, dan tegas, ini ditekankan, di sugestikan, didorong, untuk menjadi “Iya”.

Entah mengapa balok-balok es kecil ini dapat berbentuk kotak-kotak. “Karena itu bentuk cetakannya”, kata seorang pemikir 3 dimensi yang sejara rasionil dapat diterima. Merasa benar? Bagaimana ketika seorang dengan fikiran 4 dimensi berkata “Karena si penggemar es batu ingin mengkonsumsi es dalam bentuk kotak kecil”. Seandainya aku es batu itu, aku akan tertawa, melihat orang-orang yang mendefinisikan pemikirannya tentang satu hal kecil dan mengelompokkan diri mereka dalam daftar pemikir dalam dimensi berbeda.

Apa hal ini penting? Aku tak tau, kamu juga. Layaknya kita sama-sama menguji apakah teh dapat berubah menjadi kopi?

Ironis membayangkan apa yang terjadi pada pikiran ku. Berantakkan, berserakan, amburadul. Tak ada lagi definisinya. Sebuah sudut pandang ketika kuantitas menjadi tujuan utama, dan kualitas masuk ke dalam fungsi kuantitas tersebut.

Rasanya ini bagai berlayar di tengah laut, tidak dangkal, tidak sedalam samudera. Miris, praktis, tau ini bahaya.

Mungkin ini manis, dingin, dan basah, ini es the manis. Namun mungkin saja sekarang sudah sore, dan lidah ini rindu dimanja oleh lembutnya kue muffin dan panasnya air manis pahit dari latte.

Ah terlalu mudah rasanya, kalau aku menyebut seperti itu. Ini Cuma masalah cinta, romantika, berputar, dan bergerumuh di tengah. Berisik! Apa tidak ada yang merasa terganggu? Atau orang-orang sekarang sudah melihat jari-jari kubus itu dengan perumpamaan lain dengan ruang geometri yang lembut dan terpaksa nyata dibayangkan?

Sudahlah, paling tidak ini ada. Dan aku pernah membayangkannya ini ada.