Minggu, 21 Maret 2010

Ucap Saja

Hari ini sama seperti hari kemarin, jenuh. Paling tidak aku masih punya kesempatan bertemu sahabatku yang ternyata menjadi tempat perahu kertasku berlabuh. Namun entah dimana perahu itu.

Di kakinya kah? Atau di belakang telinganya? Sehingga dia pun tidak mengerti dan menanggapi kehadiran itu.

Mungkin dia terlalu metropolis, kelewat modern daripada jaman ku yang memang sengaja kusimpan sendiri. Dia sedang terpaku pada sebuah mercu suar yang sangat tinggi. Berlampu merah dan bertiang putih. Hampir seperti aku. Sama-sama punya lampu dan sama-sama di lautan. Entah mengapa dia lebih memilih berenang dan menuju mercu suar dibandingkan bermain bersama perahu kertasku yang sudah hampir hanyut dibawa oleh indahnya waktu dan dimensi bersama dia.

Mataku tetap terpaku terhadap jam dinding itu, berusaha ingin menjauhkan pandangan dari jendela bening disisi kiri. Seorang kakak kelas tingkat tiga yang pernah menelfonku, memelukku, bahkan menasehatiku, sekarang sudah tak bisa ku sentuh, tak bisa ku cubit, atau sekedar bercanda di tengah kalaunya hati.

Aku ingin dia, entah dia atau kesunyian. Aku hanya bosan sendiri. Diam, dan aku butuh memeluk seseorang. Sebagai pegangan atau entah apa saja.
Kembali kepada lelaki dan mercu suar di depannya. Dia, dia yang selama ini tau apa yang ku rasakan. Bukan tentang dia, tetapi tentang lelaki-lelaki lain yang ada di hidupku. Rasanya galau, kacau, dan berantakan.

Aku tau aku bukan jam yang pas di tangannya, aku terlampau kecil, sempit, dan mati. Aku bukan apa yang kau butuh.

Ketika aku yang menyukai filosifi-filosofi dan beberapa praktikum sastra yang secara lugas dapat ku tulis serta terfikir. Aku tak banyak protes tentang apa yang aku rasakan. Aku hanya ingin selalu punya kertas gambar baru. Paling tidak setelah aku mengacau dengan lembaran yang lama. Entah aku kacaukan dengan apa. Walau aku tau kau mengenalku di sekitar lembaran ke 5 sampai sekarang. Aku tak akan cukup pantas untuk jadi pendamping. Aku hanya cocok jadi pelengkap dan bumbu penyedap, paling tidak kau tersenyum, cukup, itu saja.

Paling tidak ketika hari hujan, aku bukan yang akan memayungi mu, tapi aku punya payung yang dapat kau pinjam, dan aku rela membasahkan tas beludruku demi payung yang aku pinjamkan. Aku tau kau pun tak memakai payung itu, aku kenal kebiasaan mu. Aku tau siapa yang sebenarnya kau payungi. Mercu suar itu. Entah mengapa kau rela, dan entah mengapa aku pasrah.

Aku yang mengaku sahabatmu, selalu mencoba membuatmu bahagia, tanpa berpikir ini benar, salah dan baik buruknya. Mungkin ini yang namanya romantika. Sesuatu yang aku bicarakan selalu kepadamu sebagai teman yang dapat mengetahui aroma rambutmu. Yang kenal betul dirimu yang tampak sangat sedih kehilangan dia, tanpa kamu tau aku sedih kehilangan kamu.
Aku yang mungkin sekarang berlayar mundur darimu, takut investasi hal romantika itu pergi dariku. Takut pribadi bingungmu tiba-tiba tau dan ahli dalam hal itu. Aku takut tak bicara dengan kamu, dan aku takut kalau aku sampai nekat berteriak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar