Jumat, 12 Maret 2010

Senja Bertopeng Surya

Aku lihat warna itu, Ungu, Orange, sendu.
apa itu hanya hatiku yang sebenarnya menjadi pelapis dari horizon bumi yang tak bisa ku robek? Ini bagai gelas tak pecah. Gitar bersenar besi. Aku hancur. Hancur sehancur-hancurnya.

Mungkin ini bukan ungu, atau orange, aku lihat coklat. Coklat Latte yang membuat sendu berseru jadi tangis. Jadi teriak yang tak terpendam. Ini nyata, dan realita.

Mungkin ini Spektrum. Sebuah gabungan yang aku sendiri tak tau ada apa. Aku yang mungkin tak bisa jelaskan apa-apa tapi mengerti sejuta yang disebut apa-apa.

Aku ternyata lebih suka kopi Latte. Bukan kopi hitam klasik. Aku lebih nyaman dengan dia, bukan kamu ternyata.

Latte yang membuat aku tertawa lepas dan berwarna coklat muda. Dimana aku masih bisa melihat ampas-ampas kopi itu. Aku masih bisa lihat diriku, dan aku tidak kehilangan itu. Itu lah Latte ku, yang terealisasi dalam seorang pria, sahabatku. Yang ternyata selama ini ada, nyata, dan realita. Dia yang seharusnya aku cinta terlebih dahulu. Namun aku terlalu buta, sial aku terlambat.

Dia yang membuat Ungu jadi Jingga, dan Orange jadi Spektrum, sesuatu yang buat aku bisa berfikir luas. Tertawa, menangis, belajar, dan sayang satu sama lain.

Tapi kopi hitam klasik, ternyata terlalu gelap. Aku sendiri sampai tidak bisa lihat diriku. Aku buta dengan kamu. Ternyata kopi ini membuat semuanya hitam-putih. Duniaku hampa, dan aku bukan dirimu. Aku bersama kamu, bukan aku.

Ini mungkin Senja, namun seperti Pagi disisi Latte. Kamu yang membuat senjaku, bertopeng surya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar